Peperangan besar pada 10 November 1945 di Surabaya banyak menelan korban jiwa. Diperkirakan ada 160 ribu pejuang gugur melawan pasukan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan sekutu.
Korban berjatuhan itu karena pertempuran tidak seimbang. Sebagian besar pejuang hanya bermodal senjata seadanya seperti bambu runcing, sedangkan tentara sekutu dan NICA menggunakan senjata saat itu.
”Kurang lebih 160 Ribu jiwa gugur saat peristiwa 10 November itu. Paling banyak korban adalah di Jalan Pahlawan yang saat ini dibangun Tugu Pahlawan. Di tempat itu memang pusat pertempurannya,” ujar Sam Abede Pareno, sejarawan Universitas 17 Agustus (Untag), Surabaya, saat pembukaan Festival Kota Pahlawan, Kamis (10/11/2011).
Pertempuran itu dimulai pada 19 September 1945. Tepatnya di Hotel Oranye yang saat ini menjadi Hotel Majapahit. Pemicunya, di Hotel tersebut masih dipasang bendera Belanda dengan warna Merah-Putih-Biru.
Saat itu, sejumlah warga di Surabaya tersinggung atas pemasangan bendera tersebut. Alasannya, Indonesia sudah merdeka namun masih ada bendera Belanda.
”Saat itu Belanda sudah menyerah kepada Jepang. Kedatangan masyarakat adalah meminta agar bendera Belanda itu segera diturunkan,” katanya.
Ternyata permintaan itu tidak digubris oleh warga Belanda yang saat itu berada di Hotel Oranye. Malahan mereka menolak dengan kesan congkak yaitu bertolak pinggang.
Akhirnya, Residen (Kepala Wilayah di bawah Gubenur Jenderal) Sudirman, datang ke lokasi tersebut. Kedatangan Residen Sudirman juga tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak Belanda. Hingga akhirnya massa di luar hotel memaksa masuk menurunkan bendera Belanda.
“Setelah diturunkan, bendera Belanda itu disobek warna birunya hingga tinggal merah dan putih dan kemudian dikibarkan lagi,” ungkap pria yang juga menjadi dosen Ilmu Komunkasi ini.
Rupanya, buntut penyobekkan itu membuat marah Belanda. Terlebih lagi, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia itu.
Dalam agresi kali ini, tentara NICA mengikutsertakan sekutu. Hingga akhirnya, perlawanan demi perlawanan muncul di Surabaya.
Pada 30 Oktober 1945 perlawanan kian besar. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan itu, KH Hasyim Ashary ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan resolusi jihad. Akibat pertempuran ini, Jenderal AWS Mallaby, pimpinan tentara Inggris tewas saat baku tembak di Jembatan Merah, Surabaya.
"Kematian Mallaby ini ternyata memicu pertempuran yang lebih besar lagi. Karena Belanda mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerah dengan cara membawa bendera putih dan datang dengan jalan merangkak kepada Belanda. Ultimatum itu tidak digubris oleh bangsa Indonesia," katanya.
Pertempuran lebih besar pun pecah pada 9 November 1945. Saat itu, Surabaya dikepung dari berbagai penjuru, mulai darat, laut, hingga udara.
Menurut Sam, pertempuan ini paling besar dalam sejarah. “Lebih besar dari pertempuran Normandia dalam operasi Cobra antara Pasukan Hitler melawan pasukan sekutu pada 1944. Sebanyak 160 ribu pejuang gugur,” jelas Sam.
sumber:http://news.okezone.com/read/2011/11/10/340/527390/160-ribu-pejuang-gugur-dalam-pertempuran-10-november